Pages

February 25, 2012

Pendakian Gunung Lawu (1)

Entah kenapa hari ini kepikiran untuk posting ke blog mengenai cerita satu ini. Cerita tentang perjalananku dengan beberapa teman ke Gunung Lawu yang menurut kami penuh cerita menarik didalamnya.

Aku lupa tahun berapanya, tapi pendakian ini aku lakukan pada saat aku masih bekerja di Novotel Jogja dan masih di posisi waiter. Yang aku ingat dalam tim ini ada 4 teman lain yang ikut, sebut saja TG, Eman, Simbah, dan Pak Rebo. Mungkin sekitar tahun 2002...

Pendakian ini kami mulai dari jalur Cemara Kandang, jalur yang umum dilewati pendaki yang berasal dari Jawa Tengah, selain Cemoro Sewu dan Cetho, dengan jalur turun melalui Cemoro Sewu. Disitu kami temui penjaga pos yang bertugas. Bayar tiket dan berbagi cerita tentang Gunung Lawu. Dari situ kami diberitahu bahwa kebakaran yang melanda Gunung Lawu beberapa waktu lalu menghanguskan bangunan pos 1 dan cerita tentang keberadaan nisan di pos 4.

Oh ya, kami berlima berangkat pagi-pagi karena kami buta tentang Gunung Lawu sehingga menurut kami akan lebih aman jika kami mendaki pada pagi hari dibanding malam hari seperti yang biasa kami lakukan.

Setelah mengecek perbekalan, buang air ditoilet yang tersedia, dan berdoa, kami memulai perjalanan...

Perjalanan awal ini relatif mudah karena landai dan masih banyak pohon yang saat itu masih tampak jelas tanda - tanda kebakaran. Sebagian pohon tampak menghitam. Pemandangan seperti ini kami dapati hingga kami sampai di pos 1. Benar kami temui memang pos 1 ini dindingnya, yang terbuat dari batu dan semen, tampak menghitam dan sebagian atapnya hilang. Kami gunakan kesempatan ini untuk beristirahat.

Perjalanan berlanjut...

Mulai dari sinilah jalur sudah mulai mengecil dan mendaki. Bau belerang juga kadang terendus kuat kadang tidak. Kami sempat berpikir, "Wah, deket kawah nih". Karena biasanya bau belerang kita temui setelah area yang dekat-dekat kawah.

Pemandangan sudah berubah dari pepohonan ke pegunungan sekitar karena sebagian area sudah berupa lereng yang membuat kami leluasa melihat pemandangan sekitar. Hingga kami sampai di sebuah pos yang berada dibebatuan. Sepi, karena memang jarang ada yang mendaki pada pagi hari.

Hal menarik yang terjadi di sini adalah pada saat aku buang air kecil didepan pos, tidak jauh didepanku ada seekor burung yang nangkring di dahan. yang kedatangannya tidak pernah aku ketahui kapannya. Uniknya, burung ini tidak takut dengan keberadaanku sampai aku selesai menunaikan hajatku. Melihat situasi ini feelingku menggerakkan bibirku untuk mengucap: "Nuwun sewu Mbah, dalem ndherek langkung..."

Tak lama kami melanjutkan lagi pendakian, yang anehnya diikuti dengan terbangnya burung tadi dan melintas dihadapan kami. Kami hanya bisa berdoa dalam hati semoga ini pertanda baik. Tak jauh dari situ kami dibikin berpikir lagi karena adanya sesajen yang ada di sebuah batu. Serempak kami berucap, "Nuwun sewu Mbah, ndherek langkung.."

Hujan


Hal yang sudah kami antisipasi dan terjadi adalah HUJAN. Beruntung aku dan 3 teman lain sudah bersiap dengan hal itu. Kami menerjang hujan dengan jas hujan panco. Namun tidak demikian dengan teman kami yang bernama Eman. Dia lupa membawa jas hujan dan hanya menggunakan garbage bag sebagai pelindung. Di awal perjalanan yang ditemani hujan ini, kami masih terbilang oke. Tapi setelah berjalan beberapa saat, aku yang kebetulan berjalan dibelakang Eman, melihat dia jalannya sempoyongan. "Wah, gawat nih". Aku susul Eman dan bilang ke yang lain kalau kita harus berhenti dan mengecek kondisi Eman.

Setelah kami berhenti, dengan hanya bersandar pada tebing dan berlindung di bawah semak yang ada diatas kami, kami mengecek kondisi Eman. Eman menggigil kencang karena hujan dan angin yang cukup kencang menerpa pada saat itu. Hujan, angin, dan situasi ditengah jalan (masih jauh dari pos) membuat kami berpikir cepat untuk segera membawakan backpacknya dan mentupinya dengan jas hujan panco kita. Kami hanya takut kalau dia hypotermia.

Untung daya tahan Eman ini termasuk bagus. Tak lama, dia sudah tidak terlalu menggigil lagi dan siap melanjutkan perjalanan. Dengan tambahan garbage bag dan tas kresek dikepalanya, dia melanjutkan pendakian. Sedangkan backpacknya, kalau tidak salah, dibawakan oleh TG, karena emang dia yang paling "kuat" diantara kami meskipun tubuhnya lebih kecil dariku.

Kami berhenti dipos 4 dimana ada sebuah nisan disitu. Agak grogi juga sih berlama-lama disitu. Tapi karena kami harus beristirahat terkai kondisi Eman yang kedinginan, maka kami putuskan untuk berhenti agak lama disitu. Setelah ganti baju, Eman duduk dipojokan pos sambil selimutan dan kami duduk menutupinya dari angin. Kesempatan itu kami pakai untuk memasak air dan mie instan. Setelah makan dan minum yang panas-panas, kondisi Eman berangsur pulih. Melihat itu kami gembira dan berani meninggalkan dia di pos untuk melihat keadaan diluar pos seiring hujan yang sudah reda.

Pemandangan siang itu kurang bagus karena mendung yang masih menggantung dilangit paska hujan. Kami hanya ngobrol kesana kemari sambil menunggu kondisi Eman bagus menurut dia. Takutnya jika dipaksakan justru gak bagus buat kami semua.

Menuju Puncak


Pulihnya kondisi Eman dan cerahnya cuaca menjadi kabar baik buat kami untuk melanjutkan pedakian. Kami juga seperti diburu waktu saat melihat waktu sudah semakin sore. Maka kami putuskan untuk berjalan dengan lebih cepat karena kami ingin sampai puncak sebelum gelap.

Kali ini, dalam perjalanan menuju puncak, kami disuguhi pemandangan yang luar biasa karena disitu terhampar padang edelweis yang meskipun sebagian besar terbakar tetapi masih terlihat indah. Kemudian pemandangan berupa tebing batu yang berwarna putih yang kata beberapa orang bisa memunculkan suara-suara tertentu saat angin bertiup kencang.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment